Latar Belakang Pola Persebaran
Topik pertanian sering menjadi pokok bahasan pakar dan tak heran menjadi topik vital bagi suatu wilayah atau negara. Beragam aspek, mulai dari budidaya, hingga aspek pasca panen menjadi topik yang selalu menarik untuk dibahas. Cakupannya yang luas menjadikan pertanian sebagai suatu subjek yang mampu menarik komentar, pendapat, dan rasa ingin tahu dari setiap orang. Hal ini mengindikasikan bahwa pertanian merupakan aspek fundamental bagi setiap orang di muka bumi.
Untuk mengerti mengenai penciptaan suatu kaleidoskop budaya manusia dalam skala Asia Tenggara, perlulah setidaknya kita memahami faktor-faktor lingkungan yang ada didalamnya secara umum. Hampir seluruh wilayah Asia Tenggara adalah wilayah tropis. Meskipun demikian, terdapat pengurangan masa musim kering setiap kita bergerak didalam zona equatorial antara 5 derajat kearah utara dan kearah selatan. Populasi yang ada cenderung kecil (dalam beberapa zona), dan pada bagian timur Indonesia umumnya populasi akan bergantung kepada bahan pangan umbi-umbian atau pepohonan, seperti pisang, sagu, yam, atau talas. Zona equator dengan hutan hujan tropisnya tidaklah secara khusus cocok dengan budidaya tanaman padi, dan pada zaman prasejarah, tampaknya padi dan gandum didatangkan dari daerah lain, seiring dengan berpindahnya suatu populasi ke daerah ini, dan terus bergerak kearah Oceania (Pasifik). Mengacu kepada Robert Dewar (2003), tingginya curah hujan yang tidak menentu di bagian selatan Taiwan dan bagian utara Filipina juga telah menyaring sejumlah tanaman musiman. Saat ini, dan mungkin juga pada masa era pertanian dahulu, populasi terbesar terdapat pada daerah dengan musim hujan tinggi (basah), atau daerah monsoon/muson, dimana distribusi curah hujan merata dan dapat diandalkan serta dimana padi dapat tumbuh dengan subur, terutama didaerah aluvial di bagian selatan Cina, bagian utara dari daratan utama Asia Tenggara, sebagian Filipina, Jawa, Bali, dan sedikit daerah Sunda.
Tidak ada bukti yang cukup mendukung yang dapat ditemukan didaerah manapun di Asia Tenggara, yang dapat dijadikan sebagai bukti akan suatu tahap produksi makanan sebelum 3500 SM. Hal ini merupakan suatu aspek yang sangat penting, mengingat bahwa padi telah berhasil didomestikasi setidaknya 6500 SM di Yangzi. Seiring dengan pergerakan budaya bertani dari Asia Barat Daya menuju India, begitupula di daratan utama Asia, kita juga dapat melihat sebuah penurunan pergerakan, dalam hal ini disebabkan oleh pergerakan membujur dan mungkin perlawanan dari populasi pemburu dan pengumpul makanan, ketimbang perbedaan akibat rezim curah hujan. Saat dimulai, bagaimanapun juga, zaman Neolithic sarat dan kompleks akan produksi tembikar, kapak batu, ornamen kerang, dll.
Di zona equator Indonesia, penyebaran populasi para petani (agriculturalist. note: bedakan dengan pemburu dan peramu/hunter) terkonversi secara melintang melalui Kalimantan-Sulawesi-Malaka, di satu sisi bergerak menuju barat (Semenanjung malaka dan Madagaskar), dan disisi lain bergerak menuju timur menuju Oceania. Adanya indikasi mengenai produksi pangan pertama di daerah Papua Nugini menjadikan kisah mengenai Oceania menjadi rumit.
Pembahasan mengenai hal ini perlu dilanjutkan nanti..
Topik pertanian sering menjadi pokok bahasan pakar dan tak heran menjadi topik vital bagi suatu wilayah atau negara. Beragam aspek, mulai dari budidaya, hingga aspek pasca panen menjadi topik yang selalu menarik untuk dibahas. Cakupannya yang luas menjadikan pertanian sebagai suatu subjek yang mampu menarik komentar, pendapat, dan rasa ingin tahu dari setiap orang. Hal ini mengindikasikan bahwa pertanian merupakan aspek fundamental bagi setiap orang di muka bumi.
Untuk mengerti mengenai penciptaan suatu kaleidoskop budaya manusia dalam skala Asia Tenggara, perlulah setidaknya kita memahami faktor-faktor lingkungan yang ada didalamnya secara umum. Hampir seluruh wilayah Asia Tenggara adalah wilayah tropis. Meskipun demikian, terdapat pengurangan masa musim kering setiap kita bergerak didalam zona equatorial antara 5 derajat kearah utara dan kearah selatan. Populasi yang ada cenderung kecil (dalam beberapa zona), dan pada bagian timur Indonesia umumnya populasi akan bergantung kepada bahan pangan umbi-umbian atau pepohonan, seperti pisang, sagu, yam, atau talas. Zona equator dengan hutan hujan tropisnya tidaklah secara khusus cocok dengan budidaya tanaman padi, dan pada zaman prasejarah, tampaknya padi dan gandum didatangkan dari daerah lain, seiring dengan berpindahnya suatu populasi ke daerah ini, dan terus bergerak kearah Oceania (Pasifik). Mengacu kepada Robert Dewar (2003), tingginya curah hujan yang tidak menentu di bagian selatan Taiwan dan bagian utara Filipina juga telah menyaring sejumlah tanaman musiman. Saat ini, dan mungkin juga pada masa era pertanian dahulu, populasi terbesar terdapat pada daerah dengan musim hujan tinggi (basah), atau daerah monsoon/muson, dimana distribusi curah hujan merata dan dapat diandalkan serta dimana padi dapat tumbuh dengan subur, terutama didaerah aluvial di bagian selatan Cina, bagian utara dari daratan utama Asia Tenggara, sebagian Filipina, Jawa, Bali, dan sedikit daerah Sunda.
Tidak ada bukti yang cukup mendukung yang dapat ditemukan didaerah manapun di Asia Tenggara, yang dapat dijadikan sebagai bukti akan suatu tahap produksi makanan sebelum 3500 SM. Hal ini merupakan suatu aspek yang sangat penting, mengingat bahwa padi telah berhasil didomestikasi setidaknya 6500 SM di Yangzi. Seiring dengan pergerakan budaya bertani dari Asia Barat Daya menuju India, begitupula di daratan utama Asia, kita juga dapat melihat sebuah penurunan pergerakan, dalam hal ini disebabkan oleh pergerakan membujur dan mungkin perlawanan dari populasi pemburu dan pengumpul makanan, ketimbang perbedaan akibat rezim curah hujan. Saat dimulai, bagaimanapun juga, zaman Neolithic sarat dan kompleks akan produksi tembikar, kapak batu, ornamen kerang, dll.
Di zona equator Indonesia, penyebaran populasi para petani (agriculturalist. note: bedakan dengan pemburu dan peramu/hunter) terkonversi secara melintang melalui Kalimantan-Sulawesi-Malaka, di satu sisi bergerak menuju barat (Semenanjung malaka dan Madagaskar), dan disisi lain bergerak menuju timur menuju Oceania. Adanya indikasi mengenai produksi pangan pertama di daerah Papua Nugini menjadikan kisah mengenai Oceania menjadi rumit.
Pembahasan mengenai hal ini perlu dilanjutkan nanti..
No comments:
Post a Comment